ABU HAMZAH IBN QOMARI
Prinsip kedua yang dijadikan dasar oleh ahli hadits dalam membangun manhaj dakwah mereka adalah mencari ilmu yang bermanfaat.
Ilmu yang dimaksud oleh ahli hadits
Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu syar’i, terutama ilmu al-Kitab dan as-Sunnah dengan ujung tombaknya ilmu hadits nabawi yang mulia . Yang demikian itu karena ilmu hadits di samping ilmu-ilmu syar’i adalah bagaikan kepala jika dibanding dengan jasad. Ia diperlukan oleh mufassir, faqih, sejarawan, ahli bahasa dan ahli-ahli yang lain, sebab semua dasar-dasar mereka dalam istimbath ( mengambil kesimpulan hukum) dan tarjih ( memilih pendapat yang unggul) berputar pada studi sanad dan pengetahuan tentang shahih dan dhaifnya berita.
Ahli hadits telah menghabiskan usia mereka dalam mencari sunnah-sunnah nabi -Shalallahu alaihi wa salam-. Mereka mengumpulkan hadits Nabi, sunnah para sahabatnya, menelusuri kabar berita mereka, kabar berita para tabi’in dan tabi’it tabi’in. Kemudian mereka mempelajari sanad-sanadnya ( mata rantai para perawinya) meneliti shahih tidaknya. Karena dalam hadits dan Atsar yang sahih telah ada kecukupan, tidak perlu lagi kepada yang dhaif. Sebagaimana yang dikataklan oleh Ibnul Mubarak bahwa dalam hadits shahih itu sudah cukup menyibukkan, tidak perlu yang dhaif. Dengan demikian ahli hadits memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ahli ilmu-ilmu yang lain.
Ahli hadits juga mencurahkan perhatian untuk mengetahui Nasikh mansukh ( hukum yang menghapus dan yang dihapus), hadits dan atsar yang menafsirkan surat dan ayat al-Qur’an, apa yang diriwayatkan tentang bab-bab fiqih, hukum dan sunan, bahasa dan aqidah. Mereka mencari yang shahih, mengamalkannya dan mendakwahkannya. Mereka membuang yang dhaif, munkar, saqith, mathruh dan maudhu’ (palsu).Continue reading